Stoa Dalam Bingkai Hubungan Asmara
Stoikisme adalah suatu
pandangan filsafat Yunani kuno yang berkembang pada zaman Helenistik. Stoikisme
hadir dalam pengajaran filsafat sebagai suatu refrensi tingkah laku kehidupan
untuk mencapai suatu ketentraman atau ataraxia. Dalam mencapai suatu
ketentraman hidup stoikisme mengajarkan bahwa ada Dikotomi yang bisa kita
kendalikan dan juga ada hal yang tidak bisa kendalikan. Dengan adanya stoikisme
manusia di harapkan dapat ataupun bisa menerima apa yang kira kira ia hadapi di
kemudian hari. Seperti rasa bahagia bahkan rasa sedih yang bisa manusia terima
dalam hidup. Stoikisme mengajarkan kita untuk tidak terlekat kepada
representasi maupun emosi berlebih yang jelas dapat membuat kita menjadi kecewa.
Dengan penjelasan tersebut lantas bagaimanakah memandang kehadiran stoikisme
dalam suatu relasi percintaan antar dua insan manusia ? Bukankah cinta itu
sifatnya absurd dimana cinta merupakan
keterikatan emosi yang bukan merupakan wujud representasi logis? Disini,
penulis mencoba memberikan sedikit pandangannya mengenai cinta dan juga
stoikisme.
Nyatanya Stoikisme
sering disalah artikan sebagai suatu ajaran yang bersifat dingin dan sama
sekali tidak mempunyai emosi. Namun, Stoikisme nyatanya mengakui bentuk-bentuk
emosi positif. Salah satunya adalah cinta. Untuk memahami kaidah cinta dalam
Stoikisme, kita harus memahami suatu permasalahan mendasar tentang cinta.
Seorang stoa diharapkan memandang dua arah mengenai apa yang pada dasarnya
memang berharga atau nyata dan apa yang pantas dilakukan serta harus ada pada
lingkup hubungan yang sehat secara psikologis, namun perlu konsistensi beserta
representasi kita mengenai apa itu yang hal yang benar. Seorang stoa dalam
suatu relasi sosial dengan orang lain merupakan suatu hal penting yang berguna
secara fundamental untuk kesehatan psikologis manusia.
Banyak problem cinta
yang dapat diidentifikasi, seperti ketidakcocokan, ketidaksepahaman, impotensi,
ketidaksetiaan, ketidaktulusan, pengkhianatan, termasuk juga ketidaksetaraan.
Ketidaksetaraan yang dimaksud adalah adanya dominasi (penguasaan) maupun
dependensi (ketergantungan). Cinta yang tidak setara selalu berpotensi
dipraktikkan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Tidak selalu seorang
laki-laki identik dengan dominasi serta seorang perempuan yang identik dengan
dependensi. Sebagai sesama manusia, keduanya punya potensi untuk mempraktikkan
hal tersebut. Cinta yang tidak setara tidak hanya problematis dalam dirinya
sendiri, tetapi apabila dibiarkan atau berlarut tentu dapat menimbulkan suatu
problem seperti pengekangan/pembatasan maupun kekerasan.
Akhir akhir ini atau
bahkan pernah kita pikirkan bahwa cinta mencipatakan suatu angan akan
kebahagiaan. Tapi tidak bagi sebagian orang, nyatanya banyak cinta yang justru
malah membuat manusia tersakiti atau bahkan membuat manusia kehilangan dirinya.
Kengerian ini muncul karena suatu ekspektasi yang berlebih akan cinta yang tak
dapat tersalurkan atau tersampaikan. Ataupun jalan cinta yang tak sesuai dengan
harapan. Dimana, suatu cinta yang tak tersampaikan atau terabaikan akan
menimbulkan gejala psikologis. Jatuh cinta memang indah dan cenderung membuat
manusia tidak berpikir rasional bahkan lupa akan berpikir skeptis dengan sisi
lain dari resikonya. Apabila dilihat dari ilmu sains, jatuh cinta akan
memunculkan reaksi kimia. Pada reaksi ini otak memiliki peran penting yang
menyangkut perasaan dan pandangan terhadap orang lain. Ketika sedang kasmaran
hormon dopamin akan muncul ke dalam otak yang membantu meningkatkan testosteron
yang di produksi dalam tubuh. Ketika wanita jatuh cinta tubuh mereka
memproduksi norepinephirine dan phenylethylamine yang membantu munculnya
perasaan senang berlebih. Itu mengapa kita cenderung peduli terhadap orang yang
kita sukai dan mengabaikan hal lain ketika jatuh cinta. Gabungan dari zat
tersebut membuat orang yang sedang kasmaran selalu mengidamkan cinta dan rasa
rindu berlebih walaupun baru saja bertemu dengan orang yang disukainya. Itulah
mengapa cinta bagaikan candu bagi masyarakat. Dengan adanya pemikiran Stoa ini
kita diharapkan mampu untuk mengurangi ekspektasi akan cinta yang berlebih.
Cinta bukan hanya kebahagiaan semata atau tujuan dari suatu hubungan. Namun,
cinta yang sebenarnya adalah bagaimana kedua insan manusia memupuk dan belajar
akan rasa cinta kasih. Diri kita mempunyai dikotomi kendali untuk mencintai
atau memberikan rasa cinta kasih kepada orang terkasih. Namun dikotomi yang
tidak bisa kita kendalikan adalah dicintai oleh orang yang kita cintai.
Mencintai itu investasi dan dicintai itu reward begitulah kata kapitalisnya.
Untuk menempuh suatu
jalan “cinta”, menurut Fromm ada beberapa elemen dasar yang perlu diupayakan,
yaitu care (perhatian), responsibility (tanggung jawab), respect (hormat), dan
knowledge (pengetahuan). Untuk dapat mewujudkan cinta yang setara, penting
untuk mengupayakan salah satu elemen, yaitu respect. Respect di sini bukan
berarti segan atau takut, melainkan suatu kemampuan untuk memandang “dia yang
dicintai” sebagaimana dirinya. Artinya kita perlu menghargai dan menghormati
kekhasannya sebagai seorang individu, entah berkaitan dengan karakter, watak,
minat, bakat, maupun hobi. Kita perlu menyadari bahwa ketika kita mencintai
seorang manusia, dan karakter manusia tidaklah statis seperti benda mati, melainkan
dinamis atau dapat berubah. Menyamakan suatu karakter, watak, minat, bakat,
maupun hobi secara total, merupakan hal yang nyaris tidak mungkin. Secara
paradoksal, Fromm menyebut bahwa “aku dan kamu bersatu, tetapi tetap dua”, pada
dasarnya berisi dua individu dengan dua karakter yang berbeda. Di dalam
perbedaan kita saling mengisi satu sama lain dalam membangun relasi cinta yang
setara bukan relasi yang eksklusif dan cenderung dominatif ataupun hegemonik.
Sebagian besar orang enggan untuk belajar “Mencintai” dan lebih memilih untuk
“Dicintai”. Dalam hal tersebut muncul sisi keegoisan dimana manusia hanya ingin
dicintai saja tanpa mencintai. Relasi cinta menjadi relasi yang pasif, karena
orang lebih memilih menunggu untuk dicintai daripada belajar caranya untuk
mencintai, ataupun keputusan untuk mencintai menunggu respon yang sama yaitu
dicintai. Adapun sabda mbah kumis seorang Filsuf Jerman bernama Friedrich
Nietzsche "Permintaan agar dicintai adalah suatu jenis arogansi yang
paling besar" ujarnya. Menurut mbah kumis aka Friedrich Nietzsche jatuh
cinta membuat diri kita seperti orang lain yang menjauhkan diri kita dari sisi
orisinalitas yang ada pada diri kita.