Senin, 30 Mei 2022

Stoa Dalam Bingkai Hubungan Asmara

Stoikisme adalah suatu pandangan filsafat Yunani kuno yang berkembang pada zaman Helenistik. Stoikisme hadir dalam pengajaran filsafat sebagai suatu refrensi tingkah laku kehidupan untuk mencapai suatu ketentraman atau ataraxia. Dalam mencapai suatu ketentraman hidup stoikisme mengajarkan bahwa ada Dikotomi yang bisa kita kendalikan dan juga ada hal yang tidak bisa kendalikan. Dengan adanya stoikisme manusia di harapkan dapat ataupun bisa menerima apa yang kira kira ia hadapi di kemudian hari. Seperti rasa bahagia bahkan rasa sedih yang bisa manusia terima dalam hidup. Stoikisme mengajarkan kita untuk tidak terlekat kepada representasi maupun emosi berlebih yang jelas dapat membuat kita menjadi kecewa. Dengan penjelasan tersebut lantas bagaimanakah memandang kehadiran stoikisme dalam suatu relasi percintaan antar dua insan manusia ? Bukankah cinta itu sifatnya absurd  dimana cinta merupakan keterikatan emosi yang bukan merupakan wujud representasi logis? Disini, penulis mencoba memberikan sedikit pandangannya mengenai cinta dan juga stoikisme.

 

Nyatanya Stoikisme sering disalah artikan sebagai suatu ajaran yang bersifat dingin dan sama sekali tidak mempunyai emosi. Namun, Stoikisme nyatanya mengakui bentuk-bentuk emosi positif. Salah satunya adalah cinta. Untuk memahami kaidah cinta dalam Stoikisme, kita harus memahami suatu permasalahan mendasar tentang cinta. Seorang stoa diharapkan memandang dua arah mengenai apa yang pada dasarnya memang berharga atau nyata dan apa yang pantas dilakukan serta harus ada pada lingkup hubungan yang sehat secara psikologis, namun perlu konsistensi beserta representasi kita mengenai apa itu yang hal yang benar. Seorang stoa dalam suatu relasi sosial dengan orang lain merupakan suatu hal penting yang berguna secara fundamental untuk kesehatan psikologis manusia.

 

Banyak problem cinta yang dapat diidentifikasi, seperti ketidakcocokan, ketidaksepahaman, impotensi, ketidaksetiaan, ketidaktulusan, pengkhianatan, termasuk juga ketidaksetaraan. Ketidaksetaraan yang dimaksud adalah adanya dominasi (penguasaan) maupun dependensi (ketergantungan). Cinta yang tidak setara selalu berpotensi dipraktikkan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Tidak selalu seorang laki-laki identik dengan dominasi serta seorang perempuan yang identik dengan dependensi. Sebagai sesama manusia, keduanya punya potensi untuk mempraktikkan hal tersebut. Cinta yang tidak setara tidak hanya problematis dalam dirinya sendiri, tetapi apabila dibiarkan atau berlarut tentu dapat menimbulkan suatu problem seperti pengekangan/pembatasan maupun kekerasan.

 

Akhir akhir ini atau bahkan pernah kita pikirkan bahwa cinta mencipatakan suatu angan akan kebahagiaan. Tapi tidak bagi sebagian orang, nyatanya banyak cinta yang justru malah membuat manusia tersakiti atau bahkan membuat manusia kehilangan dirinya. Kengerian ini muncul karena suatu ekspektasi yang berlebih akan cinta yang tak dapat tersalurkan atau tersampaikan. Ataupun jalan cinta yang tak sesuai dengan harapan. Dimana, suatu cinta yang tak tersampaikan atau terabaikan akan menimbulkan gejala psikologis. Jatuh cinta memang indah dan cenderung membuat manusia tidak berpikir rasional bahkan lupa akan berpikir skeptis dengan sisi lain dari resikonya. Apabila dilihat dari ilmu sains, jatuh cinta akan memunculkan reaksi kimia. Pada reaksi ini otak memiliki peran penting yang menyangkut perasaan dan pandangan terhadap orang lain. Ketika sedang kasmaran hormon dopamin akan muncul ke dalam otak yang membantu meningkatkan testosteron yang di produksi dalam tubuh. Ketika wanita jatuh cinta tubuh mereka memproduksi norepinephirine dan phenylethylamine yang membantu munculnya perasaan senang berlebih. Itu mengapa kita cenderung peduli terhadap orang yang kita sukai dan mengabaikan hal lain ketika jatuh cinta. Gabungan dari zat tersebut membuat orang yang sedang kasmaran selalu mengidamkan cinta dan rasa rindu berlebih walaupun baru saja bertemu dengan orang yang disukainya. Itulah mengapa cinta bagaikan candu bagi masyarakat. Dengan adanya pemikiran Stoa ini kita diharapkan mampu untuk mengurangi ekspektasi akan cinta yang berlebih. Cinta bukan hanya kebahagiaan semata atau tujuan dari suatu hubungan. Namun, cinta yang sebenarnya adalah bagaimana kedua insan manusia memupuk dan belajar akan rasa cinta kasih. Diri kita mempunyai dikotomi kendali untuk mencintai atau memberikan rasa cinta kasih kepada orang terkasih. Namun dikotomi yang tidak bisa kita kendalikan adalah dicintai oleh orang yang kita cintai. Mencintai itu investasi dan dicintai itu reward begitulah kata kapitalisnya.

 

Untuk menempuh suatu jalan “cinta”, menurut Fromm ada beberapa elemen dasar yang perlu diupayakan, yaitu care (perhatian), responsibility (tanggung jawab), respect (hormat), dan knowledge (pengetahuan). Untuk dapat mewujudkan cinta yang setara, penting untuk mengupayakan salah satu elemen, yaitu respect. Respect di sini bukan berarti segan atau takut, melainkan suatu kemampuan untuk memandang “dia yang dicintai” sebagaimana dirinya. Artinya kita perlu menghargai dan menghormati kekhasannya sebagai seorang individu, entah berkaitan dengan karakter, watak, minat, bakat, maupun hobi. Kita perlu menyadari bahwa ketika kita mencintai seorang manusia, dan karakter manusia tidaklah statis seperti benda mati, melainkan dinamis atau dapat berubah. Menyamakan suatu karakter, watak, minat, bakat, maupun hobi secara total, merupakan hal yang nyaris tidak mungkin. Secara paradoksal, Fromm menyebut bahwa “aku dan kamu bersatu, tetapi tetap dua”, pada dasarnya berisi dua individu dengan dua karakter yang berbeda. Di dalam perbedaan kita saling mengisi satu sama lain dalam membangun relasi cinta yang setara bukan relasi yang eksklusif dan cenderung dominatif ataupun hegemonik. Sebagian besar orang enggan untuk belajar “Mencintai” dan lebih memilih untuk “Dicintai”. Dalam hal tersebut muncul sisi keegoisan dimana manusia hanya ingin dicintai saja tanpa mencintai. Relasi cinta menjadi relasi yang pasif, karena orang lebih memilih menunggu untuk dicintai daripada belajar caranya untuk mencintai, ataupun keputusan untuk mencintai menunggu respon yang sama yaitu dicintai. Adapun sabda mbah kumis seorang Filsuf Jerman bernama Friedrich Nietzsche "Permintaan agar dicintai adalah suatu jenis arogansi yang paling besar" ujarnya. Menurut mbah kumis aka Friedrich Nietzsche jatuh cinta membuat diri kita seperti orang lain yang menjauhkan diri kita dari sisi orisinalitas yang ada pada diri kita.

 

Stoa Dalam Bingkai Hubungan Asmara S toikisme adalah suatu pandangan filsafat Yunani kuno yang berkembang pada zaman Helenistik. Stoikisme h...